Skip to content Skip to right sidebar Skip to footer

KEMATIAN RAJA-RAJA SANGIHE

Pembunuhan para raja dan tokoh masyarakat Sangihe di Bungalawang Tahuna masa penjajahan Jepang menyimpan banyak misteri yang sampai saat ini belum terungkap jelas. Sejumlah penulis, saksi mata, bahkan keturunan dari para korban bersilang pendapat kapan tepatnya tragedi mengenaskan itu terjadi. Ada memastikan kejadiannya berlangsung tahun 1942, lalu 1944 dan paling banyak berpendapat di tahun 1945. Tanggal-tanggalnya bervariasi 7 Juli 1942, 25 Agustus 1942, 9 November 1944, Desember 1944 dan terbanyak tanggal 19 Januari 1945.

Jumlah korban dan siapa-siapa yang dipancung pun dipertentangkan. Beberapa kalangan memastikan sepuluh orang yang dipenggal kepalanya, tapi banyak pihak dan saksi mata menyebut lebih. Bahkan sebelum eksekusi mereka, di Bungalawang (kini kelurahan di Kecamatan Tahuna Kabupaten Kepulauan Sangihe) pada hari bersamaan. (polisi militer) Tahuna terlebih dulu telah mengeksekusi satu keluarga besar terdiri 30 orang berasal dari Tabukan.

Pendapat seragam adalah korban terkenal yang dibunuh bersamaan, yakni: Raja Tahuna (Kendahe-Tahuna) Engelhard Bastiaan, Raja Tagulandang Willem Philips Jacob Simbat, Raja Manganitu Willem Manuel Pandengsolang Mocodompis, Raja Talaud P.G.Koagow, mantan Raja Tahuna Christiaan Nomor Pontoh, Jogugu (sebutan Kepala Distrik) Kendahe Anthoni, Jogugu Manalu (Tabukan Selatan) Karel Patras Macpal, serta istri dokter Gyula Cseszko bernama Emma Rosza Haday von Oerhalma, tenaga Zending di Tahuna Sangihe-Talaud asal Hongaria Eropa.

Ada menambahkan yang dieksekusi hari itu pun termasuk sang dokter sendiri (meski ditolak anak-anaknya dan saksi mata lain yang memastikan dokter Gyula tewas dalam kamp interniran di Tondano). Lalu terdapat nama guru agama G.Tatengkeng, kepala negeri Buang Kaliapas Jacobs yang versi lain telah dibunuh 25 Agustus 1942, Jogugu Tagulandang B.Jacobs, Jogugu Manganitu B.L.P.Jacobs (versi lain 1942); Jogugu Tamako H.J.P.Macahekum (selain versi Desember 1944). Kemudian ada Jogugu Ondong E.Marthing, Jogugu Taidi dan W.A.Kansil, ipar Raja Manganitu Willem Mocodompis yang memimpin Komite Nasional Siau. Data Belanda masih menambahkan nama B.Hengkenbala, seorang (kepala kelasi) KM Eiland Tahuna dari kesatuan KM-KNIL yang dieksekusi 19 Januari 1945.

Raja Tahuna Engelhard Bastiaan belum genap 30 tahun. Ia menduduki tahtanya tahun 1939 menggantikan ayahnya Albert Bastiaan yang wafat. Raja muda yang memperistri wanita berfam Parengkuan dari Minahasa itu, saat Jepang berkuasa sedari Mei 1942 hingga Juli 1943 dipercaya menjalankan pemerintahan di bekas Onderafdeeling Sangihe en Talaud-eilanden yang sebelumnya dikendalikan Kontrolir J.G.H.Kramps dan Kontrolir W.Langendonk. Lalu dengan tuduhan dibuat-buat ia ditangkap Kempetai. Ada versi, posisi (sebutan raja di masa Jepang) itu tidak lama dipegang, karena ia disebutkan sudah dieksekusi di tahun 1942 juga. Raja Willem Philips Jacob Simbat menjadi Raja Tagulandang sejak tahun 1934 menggantikan Hendrik Philips Jacob Malempe. Raja Levinus Israel Petrus Macpal dari kerajaan Tabukan kelahiran tahun 1891 adalah anak mantan Jogugu Manalu (Tabukan Selatan). Ia menjabat Jogugu Tabukan Selatan ketika naik tahta menggantikan raja sebelumnya Willem Alexander Kahendake Sarapil yang diberhentikan dan diasingkan Belanda ke Kolonedale Sulawesi Tengah. Pengangkatannya disebut tahun 1929, juga 15 September 1930, namun dari Almanak 1931 disebut ia masih sekedar  (pejabat, akting ) raja Tabukan di tahun itu.

Raja Manganitu Willem Manuel Pandengsolang Mocodompis kelahiran 11 Juni 1877 memerintah sejak 1910, versi Almanak 1931 dinobatkan 2 Mei 1914. Ia anak mantan raja Manganitu Manuel Soaha ‘Hariraya’ Mocodompis yang memerintah 1864-1880. Ia memindahkan ibukotanya ke Tamako tahun 1916. Dianggap mampu, ia pun dipercaya merangkap jadi pejabat Raja Tahuna periode 1928-1930, dan menerima bintang jasa penghargaan dari Residen Manado tanggal 19 Mei 1936.

Permaisuri ()nya adalah Ella Louise Kansil (12 April 1890-Jakarta 2 Mei 1969), putri mantan Raja Siau Lodewijk Kansil. Putri mereka Yolanda Wilhelmina Joachine Mocodompis (Manganitu 10 Januari 1910-Tahuna 20 November 1986) meraih gelar meester in de rechten (Mr, sarjana hukum) dari Universitas Leiden Negeri Belanda. Menurut keluarganya, Raja Willem Mocodompis ditangkap Kempetai bulan Desember 1944 dengan tuduhan mata-mata Sekutu, dipenjarakan sebulan, lalu dieksekusi pancung tanggal 19 Januari 1945 di Tanjung Tahuna bersama mantan Raja Tahuna Christian Pontoh, Raja Tahuna E.Bastiaan, Raja Tabukan Levinus Macpal serta 6 orang tokoh lainnya.

Christiaan Nomor Pontoh adalah tokoh politik terkenal dari Tahuna. Mantan raja lulusan Hoofdenschool (Sekolah Raja) Tondano dan Landbouwschool Buitenzorg ini pernah dipilih menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat, DPR Hindia-Belanda) tahun 1920-1924 duduk di ‘fraksi’  . Tanggal 13 Desember 1923 ia memperoleh Ridder in de Orde van Oranje-Nassau. Ia naik tahta kerajaan Tahuna (Kendahe-Tahuna) tahun 1914 (versi lain baru dinobatkan 1917) menggantikan ayahnya Soleman (Salmon) R.Pontoh. Karena kritis terhadap Belanda, di tahun 1928 diturunkan dari tahtanya lalu diasingkan ke Luwuk Sulawesi Tengah, dan baru kembali di Tahuna tahun 1933.

W.A.Kansil, seorang pejuang yang memimpin Komite Nasional Siau (KNS). Dalam kapasitas demikian tanggal 11 Desember 1941 ia mengambilalih kekuasaan di Siau dari tangan Belanda. Jepang kemudian menunjuknya sebagai koordinator pemerintahan di Satal sampai diambilalih  (Asisten Residen) Hirano. Setelah Raja Willem Mocodompis ditahan, ia ditunjuk sebagai Wakil Syutjo (wakil raja) Manganitu di Tamako menggantikan iparnya tersebut (yang resmi disebut pengganti sebagai raja adalah Jogugu Manganitu Alexander ‘Ambong’ Ambrosius Darondo). Di tahun 1945 Kansil ditangkap dengan tuduhan terlibat pemberontakan di Sangihe Besar serta dieksekusi mati.

R.G.Koagow, Raja Talaud, adalah ambtenar (pejabat) kolonial berasal Minahasa. Semula ia menjabat sebagai Bestuur Asistent, posisi penting dibawah komando langsung Kontrolir. Kemudian oleh Jepang diangkat menjadi Syutjo (Raja) Talaud menggantikan Metusala Tamawiwij, raja sebelumnya yang dipecat.

Dokter Gyula Cseszko kelahiran tahun 1902 asal Hongaria, diutus tahun 1931 oleh lembaga gereja bekerja sebagai tenaga dokter Zending di Sangihe. Ia dibantu istrinya Emma Rosza Haday von Oerhalma (kelahiran 1907). Dirintisnya rumah sakit yang dinamai Liung Kendage yang pembangunannya dimulai tanggal 10 Januari 1933. Di masa kesulitan besar, bersama istrinya tetap berkarya.

Namun dengan tuduhan memiliki bendera Belanda, dituduh melakukan kontak dengan Sekutu serta konon pernah meneriakkan ‘Hidup Ratu’ (Ratu Belanda Wilhelmina), tanggal 29 Maret 1944 ditangkap Kempetai. Menurut putrinya yang juga bernama Emma, saksi melihat dokter tersebut di Airmadidi ketika diseret dari mobil, dan sebulan kemudian ada di penjara Tondano. Ia meninggal di sana setelah luka parah terkena pecahan bom yang dijatuhkan Sekutu. Istri dokter Gyula, yakni Emma Rosza masih tetap bekerja di rumah sakit setelah suaminya ditangkap.

Dipercaya beberapa staf tidak menyukai diperintah wanita kulit putih dan menyebar rumor ia memiliki radio yang sebenarnya tidak dipunyainya. Tanpa periksa, tanggal 8 Agustus 1944 ia diciduk Kempetai Tahuna dan disiksa bahkan disirami air keras dan dipukuli. Anak gadisnya Emma yang berulangtahun ke-13 diambil dari perawatannya. Lalu tanggal 9 November 1944 (catatan keluarganya) dipenggal di Tanjung Tahuna bersama para tokoh Satal lain.